Kamis, 27 Mei 2010

Pasanganmu Adalah Tulang Rusukmu




DIMANA TULANG RUSUKKU?

Di suatu senja yang indah, di pesisir pantai dengan deburan ombak yang merdu, dan hembusan angin laut nan lembut. Adakah saat-saat yang lebih indah dari itu, bagi sepasang manusia yang sedang memadu kasih? Bara dan Dara duduk di penghujung senja itu. Berpuluh cerita lewat tanpa terasa, beratus kalimat mesra terucap. Dara pun memulai meminta kepastian. Ya, kepastian tentang cinta.

Dara : Siapa yang paling kamu cintai di dunia ini?
Bara : Pasti kamu dong?
Dara : Menurut kamu, aku ini siapa?
Bara : (Berpikir sejenak, lalu menatap Dara dengan pasti) Kamu tulang rusukku! Seperti cerita tentang Nabi Adam. Tuhan melihat bahwa Adam kesepian, saat Adam tidur, Tuhan mengambil rusuk dari Adam dan menciptakan Hawa.
Setelah menikah, Dara dan Bara mengalami masa yang indah dan manis untuk beberapa lama. Setelah itu, pasangan muda ini mulai tenggelam dalam kesibukan masing-masing dan kepenatan hidup yang kian mendera. Hidup mereka menjadi membosankan. Kenyataan hidup yang tidak selalu indah membuat mereka mulai melupakan impian dan cinta satu sama lain. Mereka mulai bertengkar dan pertengkaran semakin lama semakin memanas.
Pada suatu hari, pada akhir sebuah pertengkaran, Dara lari keluar rumah. Saat tiba di seberang jalan, dia berteriak, “Kamu tidak cinta lagi sama aku!” Bara sangat membenci ketidakdewasaan Dara dan secara spontan balik berteriak, “Betul, aku sudah tidak menyintai kamu! Aku menyesal kita menikah! Kamu ternyata bukan tulang rusukku!”
Mendengar teriakan Bara, tiba-tiba Dara menjadi terdiam, ia berdiri terpaku untuk beberapa saat. Matanya semakin basah oleh air mata. Dara menatap Bara, seakan tak percaya pada apa yang telah dia dengar.
Bara sempat menyesal akan apa yang sudah dia ucapkan. Tetapi seperti air yang telah tertumpah, ucapan itu tidak mungkin untuk diambil kembali ditambah dengan perasaan gengsi dan ego yang tinggi seorang laki-laki, Bara semakin mengeraskan wajahnya untuk menutupi perasaan hatinya yang sesungguhnya.
Dengan berlinang air mata, Dara berlari kembali ke rumah dan mengemasi barang-barangnya. Dara bertekad untuk berpisah. “Kalau aku bukan tulang rusukmu, biarkan aku pergi. Biarkan kita berpisah dan mencari pasangan sejati masing-masing.”
Lima tahun berlalu. Bara masih belum menikah lagi, tetapi sepanjang waktu, Bara selalu berusaha mencari tahu akan kehidupan Dara. Dara pernah ke kota lain, menikah namun akhirnya bercerai, dan kini Dara kembali ke kota semula tempat di mana Bara dan Dara pernah melewati masa-masa indah.
Dan Bara yang tahu semua informasi tentang Dara, merasa kecewa karena dia tak pernah diberi kesempatan untuk kembali, Dara tak pernah menunggunya. Dan di tengah malam yang sunyi dalam kesendiriannya, saat Bara menyeruput kopinya, ia merasakan ada yang sakit di dadanya sakit karena ternyata ia tidak dapat menemukan pengganti tulang rusuknya. Tapi Bara tidak sanggup mengakui bahwa dia merindukan Dara.
Suatu hari, tanpa sengaja mereka akhirnya kembali bertemu, di airport, di tempat ketika banyak terjadi pertemuan dan perpisahan. Mereka dipisahkan hanya oleh sebuah dinding pembatas, mata mereka beradu pandang keduanya seperti saling tak mau lepas.

Bara : Apa kabar?
Dara : Baik… mmm.., apakah kamu sudah menemukan tulang rusukmu yang hilang?
Bara : Belum....
Dara : Aku berangkat dengan penerbangan berikut.
Bara : Oh, ya. Sekembalinya kamu ke kota ini, telpon aku kalau kamu sempat. Kamu masih hapal kan nomor teleponku? Belum ada yang berubah.Tidak akan ada yang berubah.
Dara tersenyum manis sembari memandangi Bara, lalu berlalu dengan gerakan enggan.
“Good bye….”

Seminggu kemudian, Bara mendapat berita Dara meninggal karena mengalami kecelakaan. Malam itu, sekali lagi, Bara menyeruput kopinya dan kembali merasakan sakit di dadanya. Akhirnya dia semakin sadar bahwa sakit itu adalah karena Dara, tulang rusuk miliknya sendiri, yang telah dengan bodohnya dia patahkan.