Jumat, 01 Oktober 2010

Penyesalan
















PENYESALAN SELALU DATANG TERLAMBAT

Tersebutlah sepasang suami isteri
- seperti pasangan lain di kota-kota besar –
meninggalkan anak-anak
diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja.
Anak tunggal pasangan ini, putri cantik berusia empat tahun dengan nama panggilan TITA.
Sering sendirian TITA di rumah,
dan kerap kali dibiarkan Mbok Nah pengasuhnya yang sekaligus bekerja sebagai pembantu
di rumahnya,
karena sibukbekerja di dapur.
Bermainlah dia dengan ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya,
ataupun memetik bunga dan daun-daun
di halaman rumahnya yang tidak begitu luas.

Suatu Hari TITA menemukan sebatang
paku berkarat.
Dengan perasaan senang menemukan
permainan baru,
TITA-pun mulai mencoret-coret
lantai garasi tempat mobil ayahnya diparkirkan,
tetapi karena lantainya terbuat dari
marmer maka coretan tidak kelihatan.
Tidak kehilangan akal dicobanya
pada mobil baru ayahnya.
”Hmm.... Berhasil !” pikir TITA polos,
melihat ada bekas goresan di mobil baru ayahnya.
Karena mobil itu bewarna gelap,
maka coretannya tampak jelas.
Dengan perasaan riang TITA pun kembali membuat coretan sesuai dengan imajinasinya.
Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet.

Setelah sisi satu bagian mobil sudah dirasa penuh coretan maka TITA beralih ke sisi
bagian lain mobil ayahnya.
Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya,
dan gambarnya dirinya sendiri
dengan tangan yang sedang dipimpin
di tengah-tengah ibu dan ayahnya,
dan kemudian digambarnya pinsil,
buku-buku, bangku, meja, papan tulis,
Bu Guru yang sedang mengajar,
juga tak lupa
digambarnya Nini ( boneka kecil yang kerap menjadi temannya bermain,
ditidurkannya di tempat tidur
buatannya sendiri yang terbuat dari kotak tissue, dipakaikannya baju bak seorang putri raja,
dan kemudian
diberinya bantal dengan penuh kasih sayang ).



Kejadian itu berlangsung
tanpa disadari oleh Mbok Nah.

Saat pulang petang,
terkejutlah pasangan suami istri itu
melihat keadaan mobil yang belum lama dibeli.
Si ayah yang belum lagi masuk ke rumah ini pun seketika berteriak berang,
”Kerjaan siapa ini...!!!”
Mbok Nah yang sedang melipat pakaian tersentak mendengar teriakan majikannya
dan segera bergegas keluar.
Seketika ia mengucapkan kalimat istighfar berulang-ulang.
Mukanya pucat pasi ketakutan,
lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya.
Sekali lagi majikannya mengajukan
pertanyaan keras kepadanya,
iapun terus mengatakan,
”Saya tidak tahu... Pak.”
”Kamu di rumah sepanjang hari,
apa saja yg kamu lakukan?”
hardik sang istri lagi.

Mendengar suara ayahnya, TITA yang sedang bermain di kamar belakang dengan Nini bonekanya segera berlari kegirangan keluar.
Dengan penuh manja TITA berkata,
”TITA yang bikin gambar itu Yah... Cantik ...kan?!' katanya sambil memeluk pinggang ayahnya dengan penuh perasaan bangga memamerkan
hasil karyanya.
Si ayah yang sudah hilang kesabaran
seketika mengambil sebatang
ranting dari pohon di depan rumahnya, dan dengan serta merta dipukulkannya berkali-kali
ke telapak tangan TITA.
TITA yang tak mengerti apa-apapun
menangis kesakitan,
pedih sekaligus ketakutan.

Puas memukul telapak tangan,
si ayah memukul pula belakang tangan TITA.

Sedangkan si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas
dengan hukuman yang dikenakan pada TITA.

Mbok Nah hanya terpana,
tidak tahu harus berbuat apa...
Ia hanya bisa ikut menangis diam-diam
melihat anak yang sudah diasuhnya sejak berumur beberapa bulan begitu menderita menahan sakit oleh pukulan ayahnya.

Setelah merasa puas memukuli tangan kanan
dan kiri anaknya,
si ayahpun masuk ke rumah
diikuti si ibu.

Bergegas Mbok Nah menggendong TITA
yang masih merintih kesakitan
dan membawanya ke kamar.
Seketika ia terperanjat melihat sekujur tangan TITA luka-luka dan berdarah.
Mbok Nahpun bergegas memandikan TITA.
Sambil memandikan dan membersihkan luka TITA, mata Mbok Nah tak henti-hentinya
meneteskan air mata.
Dengan penuh kasih sayang
diusap-usapnya tangan TITA
yang terus menerus menangis menahan pedih.
Selesai mandi, Mbok Nah menidurkan TITA
dengan tidak lupa meletakkan Nini boneka kesayangannya, di sebelahnya.

Hari itu si ayah sengaja membiarkan
TITA tidur bersama Mbok Nah di kamar belakang.
***
Keesokkan harinya,
kedua belah tangan TITA mulai bengkak.
Pagi-pagi Mbok Nah mengadu ke majikannya,
”Oleskan obat saja!” jawab si ayah singkat.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan
TITA yang menghabiskan waktu di kamar belakang. Maksud si ayah mau memberi
pelajaran pada TITA.
Tiga Hari berlalu,
si ayah tidak pernah menjenguk anaknya,
sementara si ibu juga begitu,
meski setiap hari bertanya
kepada Mbok Nah.
”TITA demam, Bu,” jawab Mbok Nah pelan.
”Kasi minum paracetamol aja,” tukas si ibu.
Malam sebelum si ibu masuk
kamar tidur,
dia menjenguk kamar pembantunya,
saat dilihat putrinya TITA
dalam pelukan Mbok Nah,
dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.

Masuk Hari keempat,
dengan memberanikan diri
Mbok Nah memberitahukan tuannya
bahwa suhu badan TITA sudah terlalu panas.
”Iya, sore nanti kita bawa ke klinik....
Jam 5 nanti harus sudah siap” kata majikannya dengan wajah datar.
Sampai waktu sore,
TITA yang sudah begitu lemah dibawa ke klinik. Melihat kondisi TITA,
dokter menyarankan agar dibawa ke rumah sakit.
Di rumah sakit tita diharuskan menjalani
rawat inap,
karena keadaannya sudah serius.
Setelah beberapa hari dirawat, dokter memanggil ayah dan ibu TITA.
”Tidak Ada pilihan lain....”
kata dokter menjelaskan dengan berat hati. ”Karena infeksi yang dikarenakan luka sudah sangat parah, dan demi menyelamatkan nyawa Putri Bapak, tangan Putri Bapak harus segera diamputasi.”
kata dokter itu ikut tertunduk sedih sambil membayangkan wajah polos TITA.

Seketika bapak dan ibu itu terhenyak bagaikan
terkena halilintar mendengar kata-kata dokter yang sebenarnya terdengar lirih.
Dunia bagaikan berhenti berputar.
Tapi apa lagi yang dapat dilakukan?
Nasi sudah menjadi bubur.
Si ibu sambil menangis meraung-raung
bergegas ke kamar dimana TITA sedang berbaring, dipeluknya TITA yang sedang tertidur pulas.
Si ayah termangu menatap ke arah dokter
dengan pandangan kosong,
kakinya serasa tidak menjejak lantai,
badannya limbung,
penyesalannya begitu besar,
serasa ada bagian dari dirinya yang tiba-tiba hilang. Saat dokter menyodorkan surat persetujuan pembedahan untuk ditandatangani,
tangannya bergetar keras.
***
Keluar dari ruang bedah,
selepas pengaruh obat bius yang disuntikkan berangsur-angsur hilang,
TITA menangis kesakitan.
TITA juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih.
Ditatapnya muka ayah dan ibunya.
TITA mengerenyitkan dahinya melihat ayah
dan ibunya menangis.
Dalam siksaan rasa sakit dan berurai air mata, TITA berkata lirih,
”Ayah.. Ibu... TITA tidak akan melakukannya lagi.... TITA tidak mau lagi ayah pukul.
TITA tak mau nakal lagi coret coret mobil Ayah....
TITA sayang Ayah..., sayang Ibu.”
katanya berulang kali membuat si ibu serasa diiris-iris hatinya.
Merasa ada yang kurang, TITA-pun menambahkan ”TITA juga sayang Mbok Nah...” katanya masih dengan nada lirih sambil mata kecilnya mencari-cari sosok yang selama ini menjadi tempatnya mengadu, tempatnya bertanya dan tempatnya berlindung. Namun sosok itu tidak ditemukannya di ruangan ini.

”Ayah... kembalikan tangan TITA.
Untuk apa diambil..?
TITA janji tidak akan mengulanginya lagi...!
Bagaimana caranya TITA mau makan nanti...?
Bagaimana TITA mau bermain nanti...?”
katanya berulang-ulang.
Serasa hancur hati si ayah
mendengar kata-kata TITA.
Seperti orang kehilangan kesadarannya,
ia meraung sejadi-jadinya.
Hilang sudah wajah angkuh yang selama ini menghiasi hari-harinya.
Dipeluknya kedua kaki TITA,
diciuminya kaki anak semata wayangnya itu berulang-ulang,
dengan tangis yang tak kunjung berhenti.
***
Nasi sudah jadi bubur.
Pada akhirnya si putri cantik itu harus meneruskan hidupnya tanpa kedua tangannya.
Dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya
tetap harus dipotong,
meski ia sudah meminta maaf....

*****