Selasa, 10 Februari 2015

Pandangi Wajahnya


“Assalaamu’alaikum…” Ucapnya lirih usai membuka kunci pintu saat memasuki rumah.

Tak ada orang yang menjawab salamnya. Ini sudah hampir pukul sepulu malam, ia tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah tidur. "Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu pikirnya. Melewati ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya. Diletakkannya tas, ponsel dan kunci-kunci di atas meja kerja, barulah ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Sejauh ini, tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang terbangun. Rupanya semua tertidur pulas. Segera ia beranjak menuju kamar tidur. Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur istrinya.

Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari kehadirannya. Kemudian ia duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya dalam-dalam wajah istrinya. Segera ia teringat perkataan almarhum ayahnya, "Jika kamu sudah menikah nanti, jangan berharap kamu punya istri yang sama persis dengan keinginanmu. Karena engkau juga tidak sama persis dengan keinginannya. Jangan pula berharap mempunyai istri yang punya karakter sama seperti dirimu. Karena suami istri adalah dua orang yang berbeda. Bukan untukmenjadi sama  tapi untuk saling melengkapi. Jika suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, merasa jengkel, marah, atau perasaan tidak enak lainnya, maka lihatlah ketika istrimu tidur.... "

“Kok waktu dia tidur, Yah?” tanyanya ketika itu.

“Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab Ayahnya sambil tersenyum.

Waktu itu, ia tidak sepenuhnya memahami maksud ayahnya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena ayahnya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.

Malam ini, ia baru mulai memahaminya. Malam ini, ia menatap wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya, semakin membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari kalbu. Semakin ia memandanginya semakin menyeruakkan berbagai macam perasaan yang sulit diungkapkan.

Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Gumamnya dalam bathin, 

“Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis yang leluasa beraktifitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Aku yang meminangmu dan menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan. Dan aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.

Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemanapun tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, dipundakmu, untuk mengurus keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku. Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. Kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau tanggalkan segala atributmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk menaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.

Wahai istriku, di kala susah, kau setia mendampingiku. Ketika sulit, kau tegar di sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku. Dalam lesu, kau penyemangat jiwaku. Bila gundah, kau penyejuk hatiku. Kala bimbang, kau penguat tekadku. Jika lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika salah, kau yang menasehatiku.

Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku, kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki. Lalu, atas dasar apa aku harus kecewa padamu?

Dengan alasan apa aku perlu marah padamu?

Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata. Akulah yang harus membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah. Karena kau adalah juga manusia, bukan malaikat.

Maafkan aku istriku. Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumahtangga ini hingga berlabuh di pantai yang paling indah. Segala puji hanya untuk Allah yang telah memberikanmu sebagai jodohku.”

Tanpa terasa airmatanya menetes deras di kedua pipinya. Dadanya terasa sesak menahan tangis. Pelan-pelan ia berbaring di sisi istrinya. Tak lama kemudian iapun terlelap.


Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Sang istri terperanjat angun dari tidurnya
“Astaghfirullaah, sudah jam dua!”

Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya. Perlahan dia beranjak duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang sudah pulas karena kelelahan. “Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek, sampai-sampa itidak mendengar apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?” gumamnya dalam hati.

Ingin rasanya ia membangunkannya tapi tidak tega rasanya, akhirnya cuma dipandangi saja suaminya. Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hatinya yang bicara.

“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku. Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi ayah dari anak-anakku. Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di pundakmu.

“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang menghampiriku. Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau sediakan dadamu untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin melindungiku.

“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.

“Lalu, atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu? Seberapapun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu. Jika kau belum sepandai ulama dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal shaleh membanggakanku. Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah membahagiakanku.

“Maafkan aku wahai suamiku. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu dalam kehidupannku dan menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah swt. Aku akan patuh kepadamu dalam menjemput ridho-Nya..”

Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota'ayun waj'alna lil muttaqiina imaamaa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar